Dalam abad ke-7 dan ke-8 antara India dan Cina terjalin hubungan yang ramai. Hungan tersebut tidak semata-mata di Bidang perdagangan, melainkan juga dalam ilmu pengetahuna dan agama Buddha. Antara tahun 618 hingga 907 Cina diperintah oleh Dinasti Tang, sedang di India dalam abad ke-7 berkuasa raja Harcha yang bersikap toleran terhadap agama Buddha. Maka pada zaman itu banyak musafir dan Bhiksu dari Cina yang berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India.

Dalam pertengahan abad ke-7 ini pula Sriwijaya tumbuh dan berkembang menjadi pelabuhan penting di tepi perairan Selat Malaka, urat nadi lalu-lintas penting antara India dan Cina. Selama beberapa abad, kerajaan ini memegang hegemoni lautan. Sriwijaya boleh dikatakan pusat perdagangan dan pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Agama Buddha di zaman Sriwijaya adalah agama Buddha aliran Mahayana dengan memahami bahasa Sansekerta.

Antara tahun 850 hingga awal abad-13, kerajaan Sriwijaya diperintah oleh keluarga Syailendra yang pernah berkuasa di Mataram, Jawa Tengah, antara tahun 778-850. Selama 75 tahun berkuasa di Mataram, keluarga Syailendra banyak mendirikan bangunan suci Buddhist berupa candi seperti Candi Kalasan, Plaosan, Sari, Borobudur, Pawon dan Mendut. Sriwijaya kemudian meluaskan kekuasaannya sampai ke Muangthai Selatan yang sekarang disebut Suratani dan Pattani. Candi-candi yang dibuat oleh Sriwijaya di sana antara lain Vihara Mahadhata di Jaiya dan Vihara Mahadhata di Nakorn Sitnamart yang sampai sekarang masih ada dan bentuk bangunan, arca-arca Buddha serta Bodhisattva mirip dengan yang terdapat di Jawa.

Attisa, Bhikkhu yang sangat terkenal dari Tibet yang membangun kembali agama Buddha di negara tersebut pernah datang ke Sumatra dan tinggal di sana dari tahun 1011 - 1023. Ia belajar di bawah bimbingan Dharmakirti, seorang Bhiksu terkemuka di zaman Sriwijaya. berdasarkan catatan biografi Attisa yang di tulis di Tibet, Sumatra adalah pusat utama agama Buddha, sedang Bhiksu Dharmakirti adalah seorang cendekiawan terbesar di zaman itu.

Kedatangan para dharmaduta ke Indonesia mendorong banyak orang pergi berziarah ke India untuk mengunjungi tempat-tempat suci dan pusat-pusat agama Buddha seperti Universitas Nalanda dan lain-lain. Setelah kembali ke Indonesia mereka mendirikan candi-candi dengan berbagai bentuk dan ukuran.

Agama Buddha yang semula berkembang di Pulau Jawa dan Sumatra adalah beraliran Theravada yang dikembangkan oleh Bhiksu Gunawarman. Lambat-laun aliran ini terdesak oleh aliran-aliran lain yang masuk ke Indonesia setelah mereka mempunyai kedudukan yang kuat di India. Hal ini terlihat dengan berdirinya candi Kalasan yang dipersemabahkan untuk Dewi Arya Tara (personifikasi Prajnaparamita menurut aliran Tantrayana, salah satu sekte agama Buddha Mahayana) pada tahun 779 M. . Dari catatan epigraphic diketahui bahwa salah satu dari raja Syailendra di Jawa mempunyai guru bernama Kumaraghosa dari negri Ganda (Bengal) yang menganut faham Tantrayana. Hal tersebut mendorong berkembangnya agama Buddha Mahayana.